Assalamualaikum Wr.Wb.
Halo.... sobat blogger... Gimana kabarnya???? Maaf saya baru bisa posting lagi. Ya karena kesibukan saya sebagai seorang pelajar😅. Tapi saya usahakan memberikan sedikit waktu saya untuk memposting sedikit kisah maupun ilmu yang saya rangkum dari berbagai sumber buku😃.
Saya kali ini tidak akan memposting tentang ilmu pengetahuam islam, tapi saya akan memposting tentang sebuah cerita yang mengharukan😟. Saya tidak akan memberikan sipnosis tentang cerita ini. Saya ingin kawan-kawan sendiri yang menyimpulkan inti dari kisah cerita ini😃. Berikut ini kisahnya..... Cekidot..!!!!
Saya kali ini tidak akan memposting tentang ilmu pengetahuam islam, tapi saya akan memposting tentang sebuah cerita yang mengharukan😟. Saya tidak akan memberikan sipnosis tentang cerita ini. Saya ingin kawan-kawan sendiri yang menyimpulkan inti dari kisah cerita ini😃. Berikut ini kisahnya..... Cekidot..!!!!
Kyai Abu Hasan, pimpinan pondok pesantren Al-Umar Magelang, pernah
mengatakan bahwa sejahat-jahatnya manusia, mereka masih bisa disentuh
fitrahnya. Dari sini kita bisa menggaris bawahi pesan beliau, bahwa manusia
dapat hidup sesuai fitrah-nya. Ftrah membimbing manusia untuk senantiasa berada
dalam jalan Rabb-Nya. Memberikan nilai kepekaan tinggi terhadap apa-apa yang
diperbuat dan senantiasa mengikuti (ittiba’) Allah dan Rasul-Nya.
Melabuhkan kembali jiwa dan raganya pada Sang Pencipta.
Cinta Fitri
Fitrah adalah pembawaan yang
bersifat alamiah yang membuat manusia akan bertanya, merasakan bahkan
mempelajari hakikat dirinya. Tentang dari mana dia berasal, untuk apa dia
diciptakan dan mau kemana dia setelah dan mau kemana dia setelah kehidupan di
dunia ini. Kondisi fitrah mengajarkan manusia mengenal diri dan Tuhannya yang
merupakan kunci pokok hakikat penciptaan.
Cinta kepada lawan jenis merupakan bagian dari fitrah bagi manusia. Tentu
wajar yang dialami Delia, ketika ia mencintai lawan jensnya. Justru aneh dan
ganjil bukan ketika Delia mencintai sesama jenisnya? Namun, perasaan kepada
lawan kenis bisa menjadi anugerah sekaligus fitnah. Tidak jarang kita jumpai
orang menuai masalah dikarenakan ada cinta di hatinya. Semangat dakwah jadi
luntur, ibadah mengendur, ukhuwah pun tak bisa lagi diukur, gara-gara hanya
memanjakan cinta kepada lawan jenisnya.
Sebut saja lelaki itu bernama Arya.
Dia seorang aktivis yang bisa dibilang tangguh. Semangat dakwahnya tinggi,
ilmunya pun mumpuni sebagai seorang aktivis dakwah. Hari-harinya selalu
dipenuhi dengan aktivis mengajak orang pada kebaikan. Dia selalu semangat untuk
berjuang bersama teman-temannya dalam sebuah lemabaga dakwah. Tetapi belakangan
ini semangatnya mulai menurun. Ia jarang rapat dan sering bolos dalam kegiatan.
Alasan sibuk sering menjadi argumennya ketika teman-temannya dalam menanyakan
ketidak aktifannya.
Namun, akhirnya
teman-teman Fuad pun tahu, ternyata sang ativis ini sedang jatuh cinta pada
seorang gadis! Begitu besarnya cinta bagi sang gadis, begitu berartinya
mempertahankan cinta, sehingga dakwah tak lagi sepenting dulu. Hari-hari untuk
mengingat agenda dakwah begitu mudah tergantikan dengan mengingat agenda
bersama pujaan hatinya. Dakwah menjadi nomor dua, tiga atau seterusnya.
Hal yang dirasakan Fuad sering
kita jumpai. Entah itu aktivis dakwah, mahasiswa, politisi, bahkan kalangan
“maaf” miskin papa sekalipun. Kadang cinta bisa melemahkan bahkan melenakan
seseorang pada tanggung jawabnya. Keindahan semu dalam cinta pada lawan jenis
ini membuat hati terus saja memikirkan, merindukan dan memujanya. Padahal, hal
ini bertentangan dengan bukti cinta kepada Allah sebagai nilai ketauhidan.
Apa yang dialami Fuad tidak perlu terjadi jika mampu memegang tauhid secara
benar. dan penandasan (itsbat),
yaitu manafikan segala bentuk ketuhanan selain Allah dan esensi yang di-itsbat-kan,
yaitu Allah. Dengan demikian kecintaan pada Allah akan menyelamatkannya
dari cinta semu melenakan.
Lalu muncul pertanyaan : apakah salah orang jatuh cinta kepada lawan
jenis? Dalam hal ini bukan semata-mata jawaban ‘ya’ atau ‘tidak’ yang
diperlukan. Namun, bagaimana kemudian menyikapi cinta itu sendiri, mengingat
hampir setiap orang mempunyai cinta. Allah menganugerahkan cinta bukan tanpa tujuan.
Tidaklah sia-sia segala sesuatu yang diciptakan Allah dimuka bumi ini melainkan
Allah berikan pelajaran berharga dibalik semua itu. Cinta bukan untuk dikotori,
ia adalah kesucian yang tidak layak diwarnai dengan kemaksiatan, terlebih lagi
melalaikan dari cinta yang sebenarnya. Sebab, bagaimanapun juga cinta
dihadirkan menjadi jalan dalam rangka menggapai cinta yang sebenarnya.
Pantaskah kemudian kita menyebut cinta sebagai fitrah, bila tanda-tanda
kesucian hilang satu per satu? Masih layakkah cinta disebut fitrah bila hanya
menyisakan sebuah penyesalan bagi orang lain? Lho kok orang lain? Ya, karena
yang biasanya dirugikan adalah orang lain. Karena yang menyadarinya adalah
orang lain sementara sang pelaku enjoy aja.
‘Pasangan’ itu bernama Rindu dan Tio. Mereka sudah saling mengikat janji
untuk menikah. Namun, suatu hari mereka terpisah oleh jarak. Rindu begitu
berharap Tio akan memenuhi janjinya, hingga setiap laki-laki yang meminangnya
ia tolak segera. Tak terasa usianya sudah menginjak kepala tiga. Rindu kerap
menjadi pembicaraan orang lain karena belum juga menikah. Sementara Tio tak
kunjung juga meminangnya. Ia pun kemudain mencari tahu kabar Tio yang
sebenarnya. Ternyata, orang yang begitu ia banggakan telah lama menikah dengan
orang lain! Rindu sanagat terpukul, merasa sangat kecewa. Dan ia pun akhirnya
menjadi fobia terhadap laki-laki.
Berharap cinta manusia memang sering kali membuahkan kecewa. Apalagi jika
cinta itu tidak dilandasi karena Allah. Padahal, bisa saja bagi rindu beristikharah
dulu sebelum memutuskan untuk menolak laki-laki yang meminangnya daripada
menanti sesuatu yang tidak pasti. Karena melakukan penolakan terus menerus bisa
menjadi fitnah. Apalagi jka laki-laki itu adalah pemuda yang saleh. Kalaupun
setelah berusaha ternyata tidak berjodoh, setidaknya ia telah bersandar pada
Allah dalam mengambil keputusan. Bukan menjadikan rasa cintanya sebagai ukuran
untuk mengambil langkah.
Suatu hari Allah mempertemukan saya dengan seorang gadis berusia 32
tahun. “Saya menyesal membiarkan semuanya lewat”. Kalimat ini keluar dari mulut
perempuan itu. Sebuah ungkapan penyesalan atas sikapnya yang duu terlalu
pilih-pilih saat ada laki-laki yang meminangnya, harus ini harus itu hingga
seolah tidak ada yang cocok untuk dirinya. Padahal, hanya Allah sajalah yang
Mahatahu. Walau demikian, engkau pun tak boleh hanya mengandalkan felling, perasaan,
sekadar “asal dia mau dengan saya” lantas engkau mau bersanding dengannya,
tanpa menjaga murnian cinta sebenarnya.
Di sisi lain, lamanya belum berjodoh sementara usia semakin bertambah
seorang perempuan yang semulia salehah bisa memudarkan satu per satu kebiasaan
baiknya. Ia rupanya tidak cukup kuat untuk menjaga keinginan untuk bersegara
menikah. Kecintaannya pada lawan jenis telah membuatnya semakin perkara mudah
menjaga cinta dalam fitrahnya. Namun, bukan mustahil pula membingkai cinta
dalam fitrah. Semoga engkau dan saya tetap istiqamah dalam cinta pada-Nya.